About Me

My photo
Bogor, Jawa Barat, Indonesia
Professor of Ocean Economics Policy, Graduate Program on Tropical Marine Resource Economics, Bogor Agricultural University, Bogor, West Java, Indonesia e-mail: tridoyo@indo.net.id

Tuesday, September 4, 2007

Analisis Ekonomi Kelautan dan Arah Kebijakan Pengembangan Jasa Kelautan

Di era globalisasi yang bercirikan liberalisasi perdagangan dan persaingan antarbangsa yang makin sengit, segenap sektor ekonomi harus mampu menghasilkan barang dan jasa (goods and services) berdaya saing tinggi. Sebagai negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi pembangunan (ekonomi) kelautan yang besar dan beragam. Bidang Kelautan terdiri dari berbagai sektor yang dapat dikembangkan untuk memajukan dan memakmurkan bangsa Indonesia, yaitu: (1) perikanan tangkap; (2) perikanan budidaya; (3) industri pengolahan hasil perikanan; (4) industri bioteknologi kelautan; (5) pertambangan dan energi; (6) pariwisata bahari; (7) angkutan laut; (8) jasa perdagangan; (9) industri maritim; (10) pulau-pulau kecil; dan (11) sumberdaya non-konvensional; (12) bangunan kelautan (konstruksi dan rekayasa); (13) benda berharga dan warisan budaya (cultural heritage); (14) jasa lingkungan, konservasi dan biodiversitas.

Dalam rangka mengatasi berbagai keterbatasan pengembangan ekonomi berbasis daratan maupun stagnasi pertumbuhan ekonomi saat ini. Apabila dikelola dengan baik berbagai sektor tersebut memiliki potensi sangat besar untuk dikembangkan menghasilkan produk-produk unggulan. Sementara itu permintaan produk kelautan diperkirakan akan terus meningkat --seiring dengan bertambahnya penduduk dunia, sehingga diyakini ekonomi kelautan dapat menjadi keunggulan kompetitif dan memecahkan persoalan bangsa.


... tulisan selengkapnya dapat Anda download melalui link dibawah ini.

ANALISIS EKONOMI KELAUTAN DAN ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN JASA KELAUTAN.zip

Arah dan Pendayagunaan Riset Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan

Pembangunan sektor Perikanan dan Kelautan Indonesia telah mendapatkan perhatian yang lebih besar dalam pembangunan nasional namun hasilnya masih belum mampu mengentaskan kemiskinan masyarakat nelayan dan pembudidaya ikan. Masyarakat yang menjadi tujuan utama pembangunan tersebut sebagian besar masih terpinggirkan dan masih relatif tertinggal. Walaupun kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) sektor perikanan meningkat dibanding tahun 60 an namun dalam beberapa tahun terakhir ini pertumbuhan ekonomi perikanan mengalami perlambatan. Keadaan tersebut kembali mendapat tantangan yang besar dari berbagai bencana alam yang terjadi di pesisir dan laut serta masih belum terpadunya pembangunan sektor-sektor di bidang kelautan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan mensejahterakan masyarakat. Selain itu juga implementasi pembangunan perikanan dan kelautan masih terkendala dengan kebijakan yang tidak konsisten dan terkesan berjalan sendiri-sendiri, bahkan tidak sedikit kebijakan yang tumpang tindih.


... tulisan selengkapnya dapat Anda download melalui link dibawah ini.

ARAH DAN PENDAYAGUNAAN RISET SOSIAL EKONOMI PERIKANAN DAN KELAUTAN.zip

Etika Akademik Menuju World Class University

Tantangan ke depan Institut Pertanian Bogor dalam menghadapi persaingan global adalah kemampuan institusi menempatkan diri sejajar dengan universitas-universitas terkemuka di dunia. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut maka segenap sistem nilai yang menjadi kunci untuk mencapai tingkatan IPB sebagai universitas bertaraf internasional (world class university) harus dikembangkan dengan sungguh-sungguh, baik instrumen legal sampai terbentuknya budaya berkualitas global dari setiap komponen institut. Unsur penting dan utama dalam mencapai tingkatan tersebut adalah Etika Akademik yang mengandung nilai moralitas (sistem nilai baik dan buruk) harus dimiliki oleh tenaga pendidik dan kependidikan dalam melaksanakan kegiatan di bidang akademik.

Walaupun world class university, tentu bukan segalanya dalam kriteria pendidikan tinggi di negara berkembang karena tuntutan peran dalam pengembangan kesejahteraan rakyat menjadi sangat mendesak. Tetapi persaingan global memerlukan kemampuan segenap perguruan tinggi di Indonesia menggerakkan seluruh daya dan upaya untuk mencapai beberapa langkah secara sinergis. Beberapa kriteria world class university diantaranya adalah 40 % tenaga pendidik bergelar Ph.D, publikasi internasional 2 papers/staff/tahun, jumlah mahasiswa pasca 40% dari total populasi mahasiswa (student body), anggaran riset minimal US$ 1300/staff/tahun, jumlah mahasiswa asing lebih dari 20%, dan Information Communication Technology (ICT) 10 KB/mahasiswa. Kriteria tersebut tentu tidak 100% sesuai dengan kondisi Indonesia saat ini yang sedang memperjuangkan anggaran pendidikan yang memadai, terbatasnya kursi bagi mahasiswa dalam negeri yang kemampuan ekonominya rendah, maupun peran pendidikan tinggi dalam menghasilkan iptek yang bermafaat bagi kesejahteraan rakyatnya. Namun ukuran-ukuran tersebut penting sebagai dasar bagi referensi kesejajaran universitas di Indonesia dengan universitas lainnya yang bertaraf internasional.

... tulisan selengkapnya dapat Anda download melalui link dibawah ini.
ETIKA AKADEMIK MENUJU WORLD CLASS UNIVERSITY.zip

Good Governance dalam Pengelolaan Energi dan Sumberdaya Mineral

Era kesejagatan yang didahului oleh kesejagatan perdagangan yang selanjutnya diikuti oleh ekonomi, politik, dan sosial budaya memaksa seluruh bangsa di dunia untuk dapat menyesuaikan diri apabila ingin ikut berkiprah di dalam tata dunia di abad keduapuluh satu mendatang. Isu-isu demokrasi, hak asasi manusia, lingkungan hidup, ditegakkannya hukum dan perdagangan internasional merupakan isu yang harus menjadi bagian yang terintegrasi didalam kegiatan berbangsa dan bernegara.

Indonesia seperti juga negara-negara berkembang lainnya, menjadikan pembangunan sebagai sikap, perbuatan dan program untuk memakmurkan masyarakatnya. Trilogi pembangunan menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai landasan utamanya dengan anggapan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat mendorong pertumbuhan kegiatan masyarakat lainnya. Kenyataannya pertumbuhan ekonomi cenderung gagal karena tidak ditopang oleh segi-segi lain dalam pembangunan.

Berdasarkan pengalaman di masa orde baru, perlu dibedakan ‘pertumbuhan’ dengan ‘pembangunan’ dengan memberi makna yang lebih luas pada pembangunan yang mencakup segi-segi perubahan sosial, kelembagaan, budaya dan segi kemasyarakatan lainnya. Dan ikhtiar merubah struktur masyarakat ke arah yang lebih maju menjadi bagian yang melekat pada pembangunan.

Masyarakat dunia melalui Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro pada tahun 1972 telah menyepakati konsep pembangunan berkelanjutan sebagai acuan pembangunan negara dan bangsa di bumi ini.

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Didalamnya terkandung dua gagasan penting.
  • gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan esensial manusia yang harus diberi prioritas utama, dan
  • gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan masa depan.

Dalam pengertian yang sangat luas, strategi pembangunan berkelanjutan bermaksud mengembangkan keselarasan antar umat manusia, serta antara manusia dan alam. Pencapaian pembangunan berkelanjutan mensyaratkan hal-hal sebagai berikut;
Suatu sistem politik yang menjamin partisipasi efektif masyarakat dalam pengambilan keputusan.
  • Suatu sistem ekonomi yang mampu menghasilkan surplus serta pengetahuan teknis berdasarkan kemampuan sendiri dan bersifat berkelanjutan.
  • Suatu sistem sosial yang memberi penyelesaian bagi ketegangan-ketegangan yang muncul akibat pembangunan yang tidak selaras.
  • Suatu sistem produksi yang menghormati kewajiban untuk melestarikan ekologi bagi pembangunan.
  • Suatu sistem teknologi yang dapat menemukan terus menerus jawaban-jawaban baru.
  • Suatu sistem internasional yang membantu perkembangan pola-pola perdagangan dan keuangan yang berkelanjutan dan
  • Suatu sistem administrasi yang luwes dan mempunyai kemampuan memperbaiki diri.

Menyadari bahwa fungsi sumber daya alam mineral sebagai sumber daya alam yang tidak terbaharui, masih memegang peranan penting didalam pembangunan nasional di masa mendatang, maka perlu dikembangkan visi, misi kebijaksanaan, strategi dan program-program pembangunan energi dan sumberdaya mineral yang berlandaskan paradigma dan konsep pembangunan berkelanjutan dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.


... tulisan selengkapnya dapat Anda download melalui link dibawah ini.

GOOD GOVERNANCE DALAM PENGELOLAAN ENERGI DAN SUMBERDAYA MINERAL.zip

Inisiasi dan Implementasi Integrated Coastal Management di Indonesia: Dari Konsep Kebijakan Nyata

Wilayah pesisir beserta sumberdaya alamnya memiliki arti penting bagi pembangunan ekonomi bangsa Indonesia, lebih-lebih saat bangsa Indonesia dilanda krisis ekonomi yang berkepanjangan. Nilai dan arti penting pesisir dan laut bagi bangsa Indonesia paling tidak dapat dilihat dari dua aspek, yaitu secara sosial ekonomi wilayah pesisir dan laut memberikan kontribusi terahadap pembangunan ekonomi nasional dan secara biofisik/ekologi wilayah pesisir dan laut Indonesia memiliki peran yang sangat penting dalam mendukung keberlanjutan ekosistem pesisir dan lautan Indonesia.

Implementasi konsep pengelolaan pesisir secara terpadu di Indonesia, baru dimulai pada 10 tahun terakhir dimana ditandai dengan banyaknya proyek-proyek atau kegiatan yang berkaitan langsung dengan sumberdaya pesisir dan lautan. Proyek-proyek tersebut merupakan bukti nyata terhadap besarnya perhatian donor-donor internasional untuk mengelolaa dan melestaraikan sumberdaya pesisir dan lautan Indonesia yang terkenal memiliki keanekaragaman yang tinggi.

Namun sampai saat ini, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan latan Indonesia belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan nasional dibandingkan dengan potensi pembangunan yang ada di wilayah pesisir dan lautan. Namun demikian karena keterbatasan kemampuan pengelolaan pesisir dan lauatan maka berbagai permasalahan lingkungan muncul akibat pola-pola pemanfaatan yang tidak berkelanjutan. Maka ini menyajikan konsep kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan program-program pengelolaan sumberdaya pesisir yang ada di Indonesia selama dasawarsa terakhir.


... tulisan selengkapnya dapat Anda download melalui link dibawah ini.

INISIASI DAN IMPLEMENTASI INTEGRATED COASTAL MANAGEMENT DI INDONESIA; DARI KONSEP KEBIJAKAN NYATA.zi

Kebijakan dan Strategi Peningkatan Produktivitas serta Daya Saing Produk Perikanan Nasional

Sumberdaya ikan (fin fish dan shell fish) diharapkan menjadi salah satu tumpuan ekonomi nasional di masa yang akan datang. Hal ini disebabkan Ikan telah menjadi salah satu komoditi pangan penting tidak hanya untuk Indonesia tetapi juga oleh masyarakat dunia. Para ahli memperkirakan bahwa konsumsi ikan masyarakat global akan semakin meningkat, yang disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya: (a) meningkatnya jumlah penduduk disertai meningkatnya pendapatan masyarakat dunia, (b) meningkatnya apresiasi terhadap makanan sehat (healthy food) sehingga mendorong konsumsi daging dari pola red meat ke white meat, (c) adanya globalisasi menuntut adanya makanan yang bersifat universal (d) berjangkitnya penyakit hewan sumber protein hewani selain ikan sehingga produk perikanan menjadi pilihan alternatif terbaik.

Data FAO (2000) menyatakan bahwa saat ini, ikan menyumbang sekitar 13,8 – 16,5 % terhadap asupan protein hewani manusia. Sementara itu pertumbuhan suplai ikan dunia untuk konsumsi pangan sebesar 3,6 % per tahun pada periode tahun 1961-1998, dirasakan masih sangat kurang. Walaupun komoditi ikan dunia yang dipasarkan sebesar 79,60 % untuk konsumsi pangan (food) dan sisanya (20,40 %) untuk konsumsi non-pangan, tetapi kecenderungan untuk konsumsi pangan semakin meningkat. Tidak hanya untuk mencukupi pertumbuhan penduduk dunia yang meningkat sebesar 1,8 % per tahun, tetapi juga untuk meningkatkan konsumsi per kapita sebesar 15 kg/kap/tahun yang dianggap masih rendah. Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah adanya fakta bahwa sumberdaya perikanan dunia yang masih under/moderate exploied sekitar 25 – 27 %, sedangkan sisanya 40 - 47 % stok perikanan dunia fully exploited atau mendekati limit dan sekitar 15 - 18 % stok perikanan dunia overexploited.


... tulisan selengkapnya dapat Anda download melalui link dibawah ini.

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN DAYA SAING PRODUK PERIKANAN NASIONAL.zip

Konsep Pengembangan Sea Farming di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta

Sea farming yang dapat didefinisikan sebagai sistem aktivitas berbasis marikultur dengan tujuan akhir pada peningkatan stok sumberdaya perikanan dan menjadi pendukung bagi kegiatan pemanfaatan sumberdaya perairan lainnya seperti penangkapan ikan dan pariwisata. Dengan demikian, sea Farming (SF) pada dasarnya merupakan sebuah sistem yang terdiri dari tiga sub-sistem yaitu sub-sistem input, sub-sistem marikultur (proses) dan sub-sistem output (Gambar 1). Sub-sistem pendukung merupakan prasyarat awal pembentukan kelembagaan SF yang memiliki fungsi utama sebagai penyedia faktor pendukung (supporting factors) bagi beroperasinya SF di lokasi yang dituju. Dalam sub-sistem ini, faktor paling penting adalah berfungsinya demarcated fishing rights sebagai persyaratan batas sistem operasi SF secara geografis (system boundary). Pembentukan sistem fishing rights (FR) ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan riset partisipatif hingga mencapai kesepakatan lokal. Penentuan FR ini tidak dapat dilepaskan dari analisis kesesuaian ekosistem sebagai penyokong keberhasilan operasi SF secara teknis-ekologis.


Sub-sistem kedua adalah marikultur (budidaya kelautan) di mana kegiatan pembenihan, pendederan hingga pembesaran komoditas SF dilakukan. Sub-sistem ini merupakan jantung dari implementasi SF karena input dan output ekonomi SF pada dasarnya berasal dari sub-sistem marikultur ini. Agar akselerasi sub-sistem marikultur ini dapat dilakukan sesuai dengan tujuan, maka dalam sub-sistem ini digunakan pendekatan community-based agribusiness system (sistem agribisnis berbasis pada masyarakat, SABM). Dalam SABM ini, sebagian besar pelaku adalah masyarakat lokal sehingga diharapkan manfaat ekonomi langsung maupun tidak langsung dari sistem SF ini akan bermuara pada kesejahteraan masyarakat lokal. Sebagai contoh, dengan implementasi intermediary mariculture process yang melibatkan pendeder 1, pendeder 2, dan seterusnya (lihat Gambar 1) maka alur finansial dalam bentuk perdagangan benih dapat dilakukan menggantikan sistem konvensional yang hanya terbatas pada grower (pembesaran).


... tulisan selengkapnya dapat Anda download melalui link dibawah ini.

KONSEP PENGEMBANGAN SEA FARMING DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA.zip

Mengembangkan Ekonomi Rakyat Untuk Kesejahteraan Masyarakat

Perekonomian rakyat sampai saat ini masih merupakan salah satu tumpuan bagi sebagian besar rakyat Indonesia dan perekonomian nasional. Perekonomian yang sebagai besar bertumpu pada sumberdaya lokal tersebut telah terbukti sebagai salah satu sektor ekonomi yang menyumbang sebagian besar Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dan penyedia lapangan kerja. Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2005) menunjukan bahwa pada tahun 2004 perekomian rakyat yang dimotori oleh UKM telah menyumbang sebesar 55,88 persen terhadap nilai pertambahan ekonomi nasional. Perekonomian Indonesia tahun 2004 yang diciptakan UKM berdasarkan besaran PDB atas dasar harga berlaku mencapai Rp 1.135,8 triliun, sedangkan atas dasar harga konstan 1993 sebesar Rp 276 triliun, dengan pertumbuhan mencapai 5,45 persen terhadap tahun 2003 dimana laju pertumbuhannya selalu bergerak lebih tinggi dibandingkan dengan total PDB nasional sebesar 4,86 persen.

Besarnya peran perekonomian rakyat tersebut hendaknya dapat terus diperhartikan oleh semua pihak, khususnya pemerintah dan penyandang modal melalui berbagai pemberdayaan terhadap UKM-UKM agar dapat berdampak terhadap meningkatnya jumlah lapangan pekerjaan. Dengan demikian angka penggangguran pun dapat diminimalisir secara baik, meningat jumlah pengangguran sampai saat ini masih sangat besar. Data BPS (2006) menunjukan bahwa tingkat pengangguran terbuka pada Pebruari 2006 mencapai 10,4 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan Pebruari 2005 yang hanya mencapai 10,3 persen (Tabel 1).


... tulisan selengkapnya dapat Anda download melalui link dibawah ini.

MENGEMBANGKAN EKONOMI RAKYAT UNTUK KESEJAHTERAAN MASYARAKAT.zip

Ocean Policy Dalam Membangun Negeri Bahari

Dalam rangka mencermati pembangunan kelautan Indonesia, maka sepatutnya kita mengkaji kembali bagaimana posisi bidang kelautan yang terdiri beberapa sektor yakni sektor-sektor pariwisata bahari, perikanan, pertambangan laut, transportasi laut, industri kelautan, bangunan kelautan dan jasa kelautan, berperan di masa lalu dan bagaimana seharusnya bangsa kita meletakkan dasar yang kuat bagi pembangunan negara bahari yang dapat memakmurkan rakyat nusantara (Kusumastanto, 2007). Secara empiris, pembangunan kelautan selama tiga dasa warsa terakhir kurang mendapat perhatian dan selalu diposisikan sebagai pinggiran (peryphery) dalam pembangunan ekonomi nasional. Kondisi ini sangat ironis mengingat hampir 70 % wilayah Indonesia merupakan lautan dengan potensi ekonomi yang sangat besar, sehingga sebagai negara yang merupakan “the largest archipelagic country in the world”--- negara kepulauan terbesar didunia dengan semboyan “nenek moyangku orang pelaut”, ternyata kita memang tidak memiliki keberpihakan politik maupun ekonomi dalam pembangunan kelautan (ocean development) sehingga sampai saat bidang kelautan tersebut tetap saja terpinggirkan.


... tulisan selengkapnya dapat Anda download melalui link dibawah ini.

OCEAN POLICY DALAM MEMBANGUN NEGERI BAHARI.zip

Pembangunan Perikanan Pasca Undang-undang Perikanan

Sebagai sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources), sumberdaya ikan mempunyai batas-batas tertentu sesuai dengan daya dukungnya (carrying capacity). Oleh karena itu, apabila pemanfaatannya dilakukan secara bertentangan dengan kaedah-kaedah pengelolaan, maka akan berakibat terjadinya kepunahan. Dengan demikian, agar kelestarian sumberdaya ikan tetap terjaga maka diperlukan perangkat hukum yang pasti yang disertai dengan penegakan hukum (law enforcement). Dengan kata lain, ketidakpastian hukum dan lemahnya penegakan hukum inilah yang menjadi penyebab rusaknya eksosistem perairan laut.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka pengelolaan perikanan merupakan hal yang utama yang harus dilaksanakan secara terpadu dan terarah. Pengelolaan perikanan (fisheries management) merupakan upaya yang sangat penting dalam mengantisipasi terjadinya kompleksitas permasalahan, baik ekologi maupun sosial-ekonomi di wilayah pesisir dan laut. Upaya ini muncul sebagai akibat dari pemanfaatan kawasan pesisir dan laut yang open access. Praktek open access yang selama ini banyak menimbulkan masalah yaitu kerusakan sumberdaya hayati laut, pencemaran, over-exploitation, dan konflik-konflik antar nelayan. Permasalahan tersebut diperparah oleh Undang-undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan yang bersifat sentralistis dan anti pluralisme hukum, sehingga undang-undang tersebut mengabaikan peran masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan.

Kentalnya nuansa sentralistis dan pemasungan hak masyarakat oleh pemerintah dalam Undang-undang No. 9 Tahun 1985 disebabkan oleh rezim otoriter yang berkuasa pada saat itu. Hal ini sesuai dengan pendapat Mahfud MD yang diperoleh dari penelitiannya yang kemudian dibukukan dalam judul ”Politik Hukum di Indonesia”. Disebutkan bahwa, sebagai variabel bebas (indpendent), konfigurasi politik pada suatu masa akan mempengaruhi karakter produk hukum sebagai varibel terikat (dependent). Meski Mahfud menganalisis Undang-undang Pokok Agraria. Namun, pemikirannya tersebut bisa kita gunakan dalam menganalisa permasalahan yang terjadi dalam Undang-undang Perikanan.Undang-undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan yang dilahirkan di era orde baru yang otoriter, produk hukumnya bersifat elitis, ortodok dan konservatif, sehingga tidak mengakui hak-hak masyarakat lokal sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Dengan kata lain, rezim sentralistis telah memasung kearifan lokal dan menjadikan laut sebagai arena pertarungan bebas (open acces). Akibatnya, terjadi konflik pemanfaatan dan kerusakan sumberdaya. Sedangkan Undang-undang No. 31 Tahun 2004 yang menggantikan Undang-undang No. 9 Tahun 1985 yang dilahirkan dalam suasana demokratis, hasilnya bersifat responsif dan populistik yang dicerminkan dengan adanya pengakuan terhadap hukum adat dan peran serta masyarakat dalam pengelolaan perikanan. Namun demikian, meski dilahirkan di era demokratis bukan berarti Undang-undang No. 31 Tahun 2004 telah sesuai atau telah mampu mengatasi permasalahan perikanan.


... tulisan selengkapnya dapat Anda download melalui link dibawah ini.

PEMBANGUNAN PERIKANAN PASCA UNDANG-UNDANG PERIKANAN.zip

Pembangunan Pulau-pulau Kecil

Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelago state) terbesar di dunia. Namun pulau-pulau kecil yang dimiliki Indonesia kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah, terlebih pulau-pulau kecil yang berbatasan langsung dengan negara tetangga. Padahal potensi pulau-pulau kecil di Indonesia diperkirakan mencapai 10.000 pulau dari sejumlah 17.508 pulau (Kusumastanto, 2003). Jika berhasil dikembangkan secara optimal dan berkelanjutan, pulau-pulau kecil ini bukan saja akan menjadi sumber pertumbuhan baru, melainkan sekaligus akan mengurangi kesenjangan pembangunan antarwilayah dan kelompok sosial.

Bila dibandingkan dengan Jepang, keseriusan Pemerintah Jepang jauh lebih peduli dalam pengelolaan pulau-pulau kecil daripada Pemerintah Indonesia. Hal ini dicerminkan dengan hanya memiliki sekitar 6,325 pulau, Jepang telah memiliki Undang-undang Nasional tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil (terpencil) yang disebut dengan Ritou Shinkouho atau Remote Islands Development Act (RIDA) sejak tahun 1953 yang kemudian direvisi pada tahun 1991. Pada dasarnya, RIDA berkonsentrasi pada pulau-pulau yang relatif dekat dengan daratan induk (mainland) atau pulau-pulau di perairan pedalaman (Adrianto, 2004).


... tulisan selengkapnya dapat Anda download melalui link dibawah ini.

PEMBANGUNAN PULAU-PULAU KECIL.zip

Pendekatan Integrated River Basin, Coastal, and Ocean Management (IRCOM): Menuju Pembangunan Berkelanjutan

Kawasan Pesisir dan Laut Teluk Jakarta serta Gugusan Kepulauan Seribu, merupakan wilayah pesisir yang strategis sekaligus paling rentan terhadap perubahan, gangguan dan pencemaran oleh manusia. Dikatakan daerah yang strategis karena Teluk Jakarta merupakan pintu gerbang utama aktivitas ekonomi kelautan di Indonesia, khususnya untuk wilayah bagian barat sementara dikatakan paling rentan karena daerah ini merupakan penyangga bagi ekosistem daratan Jakarta yang demikian tinggi aktifitas manusianya. Kerentanan Teluk Jakarta juga disebabkan oleh terus meningkatnya kebutuhan pemanfaatan ruang di wilayah pesisir untuk kegiatan pariwisata, industri dan pemukiman.

Kematian masal ikan dan biota air di perairan sekitar Ancol dan Dadap di tahun 2004 yang lalu juga telah memberi signal kepada kita semua bahwa tingkat pencemaran perairan di Teluk Jakarta telah demikian tinggi. Terlepas dari apapun penyebabnya, kematian masal biota air beberapa waktu yang lalu tersebut adalah hasil dari masih belum tepatnya pengelolaan lingkungan yang dilakukan selama ini di kawasan tersebut. Berbagai dugaan telah dilontarkan dari berbagai pihak tentang penyebab kematian masal ikan dan biota air ini, mulai dari disebabkan blooming fitoplankton, fitoplankton beracun, minyak hingga pencemaran logam berat. Dari sisi ilmiah, kawasan serumit Teluk Jakarta menyulitkan dalam pencarian jawaban atas apa yang paling bertanggungjawab terhadap kematian masal ikan dan biota air tersebut. Segenap dugaan yang telah dilontarkan, bisa saja bekerja secara sinergis dan bersama, sehingga menyebabkan efek akut terhadap ikan dan biota air.

Sesungguhnya, kematian masal ikan dan biota air lainnya di kawasan Teluk Jakarta beberapa waktu yang lalu merupakan puncak dari sebuah gunung es permasalahan pencemaran perairan di kawasan ini. Gunung es pencemaran perairan inilah yang seharusnya dan perlu mendapat penelusuran menyeluruh, sehingga akar permasalahan dan deskripsi permasalahan pencemaran Teluk Jakarta dapat terjawab secara memuaskan. Untuk dapat memperoleh jawaban yang menyeluruh, studi komprehensif yang mampu memberi gambaran tentang permasalahan pencemaran perairan di Teluk Jakarta perlu dilakukan segera.


... tulisan selengkapnya dapat Anda download melalui link dibawah ini.

PENDEKATAN INTEGRATED RIVER BASIN, COASTAL AND OCEAN MANAGEMENT (IRCOM); MENUJU PEMBANGUNAN BERKELAN

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Pasca Bencana Tsunami

Bencana tsunami di Provinsi NAD dan Sumut, pada tanggal 26 Desember 2004, merubah pandangan banyak pihak mengenai pentingnya pengelolaaan pesisir dan laut yang memperhatikan aspek disaster management serta perlunya konsistensi dalam menerapkan kebijakan pesisir dan lautan. Pengelolaan wilayah pesisir dan lautan di Indonesia pada dasarnya diarahkan untuk mencapai dua tujuan, yaitu (1) pendayagunaan potensi pesisir dan lautan untuk meningkatkan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi nasional dan kesejahteraan pelaku pembangunan kelautan khususnya, dan (2) untuk tetap menjaga kelestarian sumberdaya kelautan khususnya sumberdaya pulih dan kelestarian lingkungan. Dalam kerangka pengelolaan sumberdaya pesisir berkelanjutan, maka Kusumastanto (2003) membedakan dua kelompok sumberdaya pesisir dan lautan, yaitu kelompok pertama, terdiri dari sumberdaya perikanan, konservasi dan lingkungan pesisir serta pariwisata bahari; dan kelompok kedua, terdiri dari sumberdaya tidak pulih pertambangan dan energi, unsur perhubungan laut dan angkutan laut, unsur industri kelautan dan bangunan kelautan. Perbedaan kedua kelompok tersebut adalah sebagai berikut:

  • Kelompok pertama merupakan sumberdaya pulih, yang memerlukan persyaratan kualitas lingkungan yang baik untuk pengembangannya, sedangkan kelompok kedua relatif tidak memerlukan persyaratan kualitas lingkungan yang baik.
  • Oleh karena kelompok pertama merupakan sumberdaya pulih yang dapat diperbaharui, maka kelompok pertama memiliki nilai ekonomi yang bersifat long-term (tingkat diskonto rendah), sedangkan kelompok kedua memiliki nilai ekonomi yang bersifat short term (tingkat diskonto tinggi).
  • Kelompok pertama memiliki peran dalam daya dukung kualitas dan kelestarian lingkungan, walaupun nilai ekonomi kontribusi "tangible" nya kurang signifikan, namun nilai ekonomi kontribusi "intangible" dan "indirect" nya tinggi dan kontinyu, sehingga perlu dikelola secara hati-hati.
  • Dalam kegiatan pemanfaatan sumberdaya kelompok pertama, relatif tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kegiatan pemanfaatan sumberdaya kelompok kedua, sebaliknya kegiatan pemanfaatan sumberdaya kelompok kedua akan memberikan dampak negatif terhadap kegiatan pemanfaatan sumberdaya kelompok pertama, sehingga aktivitas kelompok kedua dapat mengganggu keberlanjutan kegiatan kelompok pertama.


Berdasarkan empat justifikasi di atas, maka pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut untuk mencapai dua tujuan yang disebutkan sebelumnya sedapat mungkin memenuhi atau mengikuti arahan sebagai berikut.

  • Kegiatan pemanfaataan sumberdaya pesisir dan laut ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan devisa negara untuk menunjang pembangunan nasional, baik melalui peningkatan ekspor produk-produk dari wilayah dan pendayagunaan potensi jasa-jasa wilayah pesisir.
  • Kegiatan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut harus dilakukan secara bijaksana melalui pemanfaatan secara optimal dan keberlanjutan.
  • Kegiatan pemanfaatan sumberdaya tidak pulih dari unsur-unsur pertambangan dan energi, perhubungan laut dan angkutan laut, industri maritim dan bangunan kelautan (kelompok kedua) tidak boleh mematikan kegiatan pemanfaatan sumberdaya dari unsur unsur perikanan, konservasi dan lingkungan pesisir serta pariwisata bahari.
  • Pertumbuhan ekonomi wilayah didasarkan pada perencanaan keberlanjutan kelompok sumberdaya pulih.Untuk mencapai tujuan dari pengelolaan wilayah pesisir, dengan berlandaskan arahan atau pertimbangan pengelolaan di atas, maka arahan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir meliputi empat aspek utama, (1) aspek teknis-ekologis, (2) aspek sosial-ekonomi-budaya, (3) aspek sosial politik, dan (4) aspek hukum dan kelembagaan (PKSPL/Bangda, 1998).


... tulisan selengkapnya dapat Anda download melalui link dibawah ini.

PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN LAUTAN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM (NAD) PASCA BENCANA TSUNAMI

Pengembangan Ekonomi Daerah Berbasis Kepulauan

Dalam delapan tahun terakhir (2000-2007) perhatian pemerintah terhadap pembangunan pulau-pulau kecil terlihat sangat besar. Namun demikian sampai saat ini besarnya perhatian tersebut belum memberikan dampak yang optimal terhadap pembangunan ekonomi di daerah kepulauan. Terlepas dari belum optimalnya dampak yang dirasakan oleh masyarakat kepulauan, langkah pemerintah dalam memperhatikan pembangunan di pulau-pulau kecil merupakan modal besar bagi masa depan ekonomi nasional berbasis kepulauan.

Salah satu bentuk perhatian pemerintah tersebut adalah pertama, terbentuknya Undang-undang No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 yang telah mengamanatkan dalam delapan misi pembangunan Indonesia kedepan untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara kepulauan. Dalam Bab III Lampiran UU No 17 Tahun 2007 tersebut dijelaskan bahwa salah satu misi pembangunan Indonesia dalam 25 tahun kedepan adalah mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional dengan cara menumbuhkan wawasan bahari bagi masyarakat dan pemerintah agar pembangunan Indonesia berorientasi kelautan; meningkatkan kapasitas sumber daya manusia yang berwawasan kelautan melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan; mengelola wilayah laut nasional untuk mempertahankan kedaulatan dan kemakmuran; dan membangun ekonomi kelautan secara terpadu dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber kekayaan laut secara berkelanjutan.

Kedua, terbentuknya Undang-undang No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Terlepas masih adanya pro kontra terhadap beberapa pasal dalam undang-undang tersebut, keberadaan undang-undang tersebut sangat dibutuhkan dalam upaya pengelolaan sumberdaya yang ada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Seperti diketahui bersama bahwa kondisi geografis Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sehingga sangat memerlukan adanya pengaturan yang lebih komprehensif.



... tulisan selengkapnya dapat Anda download melalui link dibawah ini.

PENGEMBANGAN EKONOMI DAERAH BERBASIS KEPULAUAN.zip

Perencanaan Pengembangan Industri Pertambakan Udang Yang Berkelanjutan

Berbagai masalah yang timbul dan gagalnya usaha pertambakkan udang di Pantai Utara Jawa membangkitkan pertanyaan, sejauh mana perencanaan pengembangan industri tambak udang mempertimbangkan aspek lingkungan sehingga usaha yang “menjanjikan” keuntungan besar tersebut tidak menyengsarakan para petani tambak dan menghancurkan ekosistem pantai yang khas. Fenomena yang terjadi pada industri pertambakan udang merupakan ilustrasi kelemahan perencanaan pembangunan yang kurang mempertimbangkan aspek lingkungan sebagai variabel penentu bagi kesinambungan aktivitas produksi barang dan jasa. Pengembangan pertambakan udang selama satu dasawarsa terakhir yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi ternyata tidak berkelanjutan (sustainable) karena mengabaikan daya dukung lingkungan pantai maupun perencanaan yang terintegrasi dalam manajemen wilayah pesisir.

Udang merupakan komoditas udang yang paling diminati sehingga memberikan peluang bisnis yang sangat menarik. Jepang negara pemakan udang terbesar dunia, menghabiskan US $ 6,5 (sekitar Rp 13 trilyun) untuk mengimpor udang, sedangkan Amerika mengimpor udang senilai US $ 5,4 miliyar (senilai Rp 11 trilyun).Nilai tersebut belum termasuk negara-negara lainnya. Sedangkan ditinjau dari ekspor produk perikanan maka udang memberikan kontribusi diatas lima puluh persen dari total nilai ekspor. Pentingnya posisi udang bagi perekonomian Indonesia baik secara mikro dan makro perlu ditingkatkan melalui perencanaan pengembangan industri pertambakan udang secara berkelanjutan.


... tulisan selengkapnya dapat Anda download melalui link dibawah ini.

PERENCANAAN PENGEMBANGAN INDUSTRI PERTAMBAKAN UDANG YANG BERKELANJUTAN.zip

Perencanaan Wlilayah dalam Satuan Sistem Teknologi Pengolahan Data Spasial Pesisir dan Laut

Perencanaan wilayah adalah suatu aktivitas manusia dalam usaha untuk memanfaatkan suatu sumberdaya ruang yang terbatas yang tersedia di atas bumi dengan tujuan untuk mendapatkan manfaat yang maksimal dari suatu ruang. Konsep pengembangan wilayah di Indonesia lahir dari suatu proses iteratif yang menggabungkan dasar-dasar pemahaman teoritis dengan pengalaman-pengalaman praktis sebagai bentuk penerapannya yang bersifat dinamis. Dengan kata lain, konsep pengembangan wilayah di Indonesia merupakan penggabungan dari berbagai teori dan model yang senantiasa berkembang dan telah diujiterapkan serta kemudian dirumuskan kembali menjadi suatu pendekatan yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pembangunan di Indonesia. Dalam sejarah perkembangan konsep pengembangan wilayah di Indonesia, terdapat beberapa landasan teori yang turut mewarnai keberadaannya. Pertama adalah Walter Isard sebagai pelopor Ilmu Wilayah yang mengkaji terjadinya hubungan sebab-akibat dari faktor-faktor utama pembentuk ruang wilayah, yakni faktor fisik, sosial-ekonomi, dan budaya. Kedua adalah Hirschmann (era 1950-an) yang memunculkan teori polarization effect dan trickling-down effect dengan argumen bahwa perkembangan suatu wilayah tidak terjadi secara bersamaan (unbalanced development). Ketiga adalah Myrdal (era 1950-an) dengan teori yang menjelaskan hubungan antara wilayah maju dan wilayah belakangnya dengan menggunakan istilah backwash and spread effect. Keempat adalah Friedmann (era 1960-an) yang lebih menekankan pada pembentukan hirarki guna mempermudah pengembangan sistem pembangunan yang kemudian dikenal dengan teori pusat pertumbuhan. Terakhir adalah Douglass (era 70-an) yang memperkenalkan lahirnya model keterkaitan desa – kota (rural – urban linkages) dalam pengembangan wilayah.

Keberadaan landasan teori dan konsep pengembangan wilayah diatas kemudian diperkaya dengan gagasan-gagasan yang lahir dari pemikiran cemerlang putra-putra bangsa. Diantaranya adalah Sutami (era 1970-an) dengan gagasan bahwa pembangunan infrastruktur yang intensif akan mampu mempercepat terjadinya pengembangan wilayah. Poernomosidhi (era transisi) memberikan kontribusi lahirnya konsep hirarki kota-kota yang hirarki prasarana jalan melalui Orde Kota. Selanjutnya adalah Ruslan Diwiryo (era 1980-an) yang memperkenalkan konsep Pola dan Struktur ruang yang bahkan menjadi inspirasi utama bagi lahirnya UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang. Pada era 90-an, konsep pengembangan wilayah mulai diarahkan untuk mengatasi kesenjangan wilayah, misal antara KTI (kawasan timur Indonesia) dan KBI (kawasan barat Indonesia), antar kawasan dalam wilayah pulau, maupun antara kawasan perkotaan dan perdesaan. Perkembangan terakhir pada awal abad millennium, bahkan, mengarahkan konsep pengembangan wilayah sebagai alat untuk mewujudkan integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berpijak pada teori-teori di atas maka pembangunan seyogyanya tidak hanya diselenggarakan untuk memenuhi tujuan-tujuan sektoral yang bersifat parsial, namun lebih dari itu, pembangunan diselenggarakan untuk memenuhi tujuan-tujuan pengembangan wilayah yang bersifat komprehensif dan holistik dengan mempertimbangkan keserasian antara berbagai sumber daya sebagai unsur utama pembentuk ruang (sumberdaya alam, buatan, manusia dan sistem aktivitas), yang didukung oleh sistem hukum dan sistem kelembagaan yang melingkupinya.


... tulisan selengkapnya dapat Anda download melalui link dibawah ini.

PERENCANAAN WILAYAH DALAM SATUAN SISTEM TEKNOLOGI PENGOLAHAN DATA SPASIAL PESISIR DAN LAUT.zip

Quo Vadis Sumberdaya Alam Kita: Kasus Pasir Laut

Sebagai negara yang dianugerahi sumberdaya alam melimpah, seharusnya kita patut bersyukur. Dengan pemanfaatan secara bijaksana berbagai jenis sumberdaya daya tersebut, mulai dari hutan, migas, ikan hingga pasir laut akan banyak mendatangkan keuntungan bagi masyarakat kita yang nota bene masih banyak yang berada di bawah kemiskinan.

Tetapi mengapa kesejahteraan bangsa ini tidak secepat negeri jiran kita? Mengapa justru sumberdaya kita justru semakin terdegradasi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut senantiasa membuat kita bertanya adakah yang salah dengan pengelolaan sumberdaya alam yang kita miliki selama ini?

Kasus terakhir yang muncul berkatian dengan pertanyaan diatas adalah kontroversi terhadap rencana diijinkannya ekspor pasir laut ke negeri jiran Malaysia dan Singapura.

Sejak dikeluarkannya Inpres Nomor 2/2002 dan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 33 Tahun 2002 tentang pengendalian dan pengawasaan pengusahaan pasir
laut, maka pasir laut pun secara bertahap mulai tertata. Namun mengingat bahwa kelemahan utama kita selama ini dalam penegakan aturan/regulasi, maka pengendalian pengusahaan pasir laut itu tidak berjalan maksimal. Hal ini didukung pula oleh hukum suplai dan permintaan (demand-supply law) yang tidak bias lepas dalam pengusahaan sumberdaya ini.

Belajar pada kasus ekspor pasir laut ke Singapura dimana kebutuhan reklamasi di Singapura hingga tahun 2004 mencapai 800 juta m3 dengan nilai (jika kurs 2001 Rp 5.600/dollar Singapura) sekitar Rp 4,48 trilyun. Kebutuhan tersebut akan terus bertambah pada proyek reklamasi tahun 2005 yang mencapai kebutuhan 265 juta m3 dengan nilai sekitar Rp 1,48 trilyun, dan proyek pada tahun 2010 dengan kebutuhan sekitar 1,01 milyar m3 dengan nilai sekitar Rp 5,656 trilyun. (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2001) Angka-angka tersebut akan memunculkan pertanyaan seberapa pentingkah sumberdaya pasir laut ini bernilai ekonomis?



... tulisan selengkapnya dapat Anda download melalui link dibawah ini.

QUO VADIS NILAI SUMBERDAYA ALAM KITA; KASUS PASIR LAUT.zip

Reinventing Perguruan Tinggi BHMN

Isu komersialisasi dan privatisasi pendidikan tinggi negeri kini kembali hangat dibicarakan, sebagai respons dari Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) yang saat ini sedang digodok Pemerintah dan DPR. Walaupun sebenarnya masalah tersebut telah berhembus beberapa tahun lalu ketika beberapa perguruan tinggi (PT) BHMN (Badan Hukum Milik Negara) menyiasati otonominya dengan berbagai macam cara yang dinilai kontroversial. Beberapa perguruan tinggi, misalnya, membuka jalur khusus dalam sistem rekruitmen mahasiswa yakni jalur khusus dibuka bagi mahasiswa yang secara finansial mampu sehingga menjadi perdebatan karena dianggap diskriminatif serta mengurangi jatah calon mahasiswa lainnya yang kurang mampu. Ada lagi yang mencoba memanfaatkan aset perguruan tinggi untuk mencari sumber pembiayaan, yang kemudian dituduh hanya memikirkan bisnis daripada mutu pendidikan itu sendiri. Sementara itu diharapkan PT sebagai ujung tombak kemandirian bangsa. Lalu, bagaimana kita mesti mensikapi situasi ini?



... tulisan selengkapnya dapat Anda download melalui link dibawah ini.

REINVENTING PT BHMN.zip

Revitalisasi Birokrasi dan Politik Kelautan Nasional

Membicarakan masa depan pembangunan kelautan dan perikanan tidak hanya menyangkut masalah sumberdaya. Melainkan menyangkut kinerja birokrasi yang mengelola dan menjalankan institusi negara dalam bidang kelautan dan perikanan serta kebijakan politik pemerintah yang berkuasa. Tulisan ini mencoba menyoroti secara singkat kinerja birokrasi bidang kelautan dan perikanan berkaitan dengan kebijakan makro ekonomi dan politik kabinet Indonesia bersatu.

Secara global kebijakan makro ekonomi tim ekonomi kabinet Indonesia (KIB) bersatu lebih berorientasi pada neoliberalisme yang dicirikan dengan privatisasi, restrukturisasi utang, stabilitas moneter, liberalisasi perdagangan, penghapusan kebijakan subsidi, kurang berpihak pada ekonomi rakyat dan mengabaikan pembangunan sektor riil. Model kebijakan ini dijalankan secara konsisten oleh KIB, sehingga ketika terjadi pengaruh eksternal seperti kebaikan harga minyak di pasar internasional sampai mencapai angka US$ 70, pemerintah langsung menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dengan alasan mengurangi defisit APBN dan menaikan suku bunga perbankan untuk menjaga stabilitas mata uang rupiah agar tidak terdepresiasi secara tajam terhadap dollar Amerika.

Kebijakan makro ekonomi yang demikian sudah barang tentu berpangaruh signifikan terhadap bidang kelautan dan perikanan, terutama sektor riil yakni perikanan tangkap, budidaya, industri pengolahan, usaha mikro, kecil dan menengah kelautan (UKMK), yang merupakan basis ekonomi rakyat di pesisir dan pulau-pulau kecil. Sektor riil ini merupakan bidang kelautan dan perikanan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Persoalannya, sejauhmana sikap dan kepekaan (sense of crisis) kalangan birokrasi yang bekerja pada bidang kelautan dan perikanan? Saya mencermati, sejauh ini birokrasi dalam bidang kelautan dan perikanan baik di level supra structural, middle structural maupun bottom structural hampir tidak memilik sense of crisis dan bahkan masih ada pihak-pihak yang mengail di air keruh dengan cara mencari rente ekonomi (economic rent) melalui mekanisme proyek di departemennya masing-masing. Dengan perkataan lain secara kelembagaan birokrasi bekerja tanpa memiliki komitmen yang jelas sebagai pelayaan masyarakat. Akan tetapi, mereka lebih mementingkan diri sendiri guna mendapatkan keuntungan sesaat.



... tulisan selengkapnya dapat Anda download melalui link dibawah ini.

REVITALISASI BIROKRASI DAN POLITIK KELAUTAN NASIONAL.zip

Revitalisasi Perikanan dan Kelautan Secara Berkelanjutan

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan garis pantai yang terpanjang nomor dua setelah Kanada yaitu 81.000 km. Luas wilayah teritorial Indonesia yang sebesar 7,1 juta km2 didominasi oleh wilayah laut yaitu kurang lebih 5,4 juta km2. Dengan potensi fisik sebesar ini, Indonesia dikaruniai pula dengan sumberdaya perikanan dan kelautan yang besar. Dari sisi keanekaragaman hayati, Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan hayati kelautan terbesar. Dalam hal ekosistem terumbu karang (coral reefs) misalnya, Indonesia dikenal sebagai salah satu penyumbang kekayaan hayati terumbu karang terbesar di dunia. Menurut data World Resources Institute (2002), dengan luas total sebesar 50.875 km2, maka 51 % terumbu karang di kawasan Asia Tenggara dan 18 % terumbu karang di dunia, berada di wilayah perairan Indonesia.

Sumberdaya perikanan juga memiliki potensi yang besar hingga sering disebut bahwa sektor perikanan merupakan raksasa yang sedang tidur (the sleeping giant). Hasil riset Komisi Stok Ikan Nasional menyebutkan bahwa stok sumberdaya perikanan nasional diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun. Hal ini tentu estimasi kasar karena belum mencakup potensi ikan di perairan daratan (inland waters fisheries). Demikian juga dengan sumberdaya alam kelautan lainnya seperti sumberdaya minyak yang berkontribusi secara signifikan terhadap total produksi minyak dan gas (67 %), gas dan mineral laut lainnya, dan potensi material untuk bioteknologi yang diperkirakan mencapai kapitalisasi pasar triliunan rupiah (Dahuri, 2004). Total kontribusi sektor perikanan dan kelautan terhadap PDB nasional mencapai 25 % dan menyumbang lebih dari 15 % lapangan pekerjaan (Burke, et.al, 2002).

Namun demikian, besarnya potensi sumberdaya alam perikanan dan kelautan ini tidak semerta tanpa persoalan baik struktural maupun fungsional, khususnya pada era pemerintahan pasca-orde lama. Sebagai hasilnya, besarnya potensi yang ada tidak diimbangi dengan pemanfaatan optimal dengan tujuan untuk kemakmuran rakyat. Isu-isu kemiskinan nelayan, misalnya, telah menjadi isu struktural sejak lama bagi pengelolaan (governance) sektor perikanan dan kelautan. Pada saat yang sama, isu-isu rusaknya sumberdaya alam perikanan dan kelautan pun telah lama diketahui. Studi yang dilakukan oleh Burke, et.al (2002) misalnya menyebut bahwa kerusakan terumbu karang di Indonesia telah sampai pada tahap mengkhawatirkan. Hampir 51 % kawasan terumbu karang yang terancam di Asia Tenggara berada di Indonesia, disusul sebesar 20 % di Filipina.


... tulisan selengkapnya dapat Anda download melalui link dibawah ini.

REVITALISASI PERIKANAN DAN KELAUTAN SECARA BERKELANJUTAN.zip

Revitalisasi Perikanan di Negara Kepulauan

Polemik para pengamat tentang pencanangan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) oleh Presiden SBY beberapa waktu yang lalu membahana menunjukkan pemahaman pentingnya sumberdaya hayati bagi keberlanjutan bangsa Indonesia masih beragam dan banyak yang belum mendalami hakekat jatidiri bangsa. Sayangnya memang setelah dicanangkan terasa memang “adem-ayem”-tenang tanpa tindakan nyata. Ketiga sektor tersebut sebetulnya merupakan penentu keberlanjutan kehidupan maupun kesejahteraan bangsa ini karena ketiga-tiganya menyentuh kehidupan manusia Indonesia dalam arti yang sebenarnya yakni mereka menyediakan (makanan) dan menjaga kehidupan (air, alam dan lingkungan)- saya tidak mampu membayangkan kalau ke tiga sektor tersebut dikelola secara “amburadul” maka pembangunan berkelanjutan (sustainable development) tidak akan terjadi dan bangsa ini tidak akan makmur.

Disadari bahwa “political will” pemerintah sudah ada, tinggal apakah betul-betul akan diikuti dengan aksi nyata atau hanya retorika belaka – sebuah ”pepesan kosong”. Dalam konsepsi pengelolaan ekosistem maka ketiga sektor tersebut harus terpadu yakni hutan-pertanian dan perikanan berada dalam kawasan ekologi yang menentukan bagi kenyamanan kita hidup di bumi ini, karena ketiganya dihubungkan melalui “air- sang sumber kehidupan”. Dengan demikian pengelolaannya harus “beyond beureaucratic approach”-tetapi harus melihatnya sebagai kawasan terpadu sehingga konsepnya adalah keterpaduan daerah aliran sungai (das), pesisir dan lautan (integrated river basin-coastal and ocean management (IRCOM) (Kusumastanto, 2005). Oleh karena itu, ukurannya adalah keberhasilan pengelolaan wilayah pembangunan secara berkelanjutan bukan keberhasilan para menterinya mengelola masing-masing departemen.

Bagi perikanan maka air (tawar, payau dan asin) merupakan penentu bagi keberhasilan Revitalisasi Perikanan maka syarat kualitas, kuantitas maupun lingkungan perairan yang layak bagi kehidupan flora dan fauna perairan sehingga menentukan keberlanjutan pembangunan perikanan. Kelestarian kehidupan bangsa ini sangat ditentukan keberhasilan pengelolaan renewable resource termasuk perikanan, kehutanan dan pertanian. Tantangan revitalisasi perikanan semakin besar karena berada pada bagian ujung dari pengelolaan sehingga perlu adanya kerjasama dengan sektor lain dalam sebuah kerangka besar yakni kepentingan kesejahteraan rakyat dan kemakmuran bangsa. Sebagai Negara kepulauan terbesar di dunia potensi laut masih dapat dikembangkan walaupun perlu dilakukan dengan sangat hati-hati supaya tidak mengulang kesalahan pengelolaan sumberdaya hutan.



... tulisan selengkapnya dapat Anda download melalui link dibawah ini.

REVITALISASI PERIKANAN DI NEGARA KEPULAUAN.zip

Revitalisasi Sektor Perikanan dan Kelautan Secara Berkelanjutan



Socio-ecological System Analysis in the Recovery of Catastrophic Disaster

In December 26, 2004, tsunami-affected countries approximately 240,000 people were killed, 50,000 are missing and feared dead and more than one million persons were displaced. Poor coastal communities were worst hit. In many affected coastal areas, three times more women were killed than men. Children represented more than a third of the victims.

In the immediate aftermath of the tsunami, an estimated one million people were displaced. After the first few weeks, however, the large numbers of temporary displaced began to diminish as the situation stabilized and people started returning to their home areas. The fluidity with which displaced populations moved (particularly in Aceh), the growing strain on host families and the destruction of livelihoods (include fisheries sector) challenged the ability of national authorities and the international community to tailor responses to the different needs of various categories of tsunami-affected populations.

The early attention to recovery in the relief phase of the emergency helped local populations get back on their feet. In Indonesia especially in fisheries sector, rubble removal was implemented by means of ‘cash for work’ schemes which injected cash into the local economy while providing a psychological around to the 11,000 people who took part. However, in coastal areas (especially in Aceh Besar) early recovery was not possible as damage to fisheries problem for the early livelihood recovery. Improved arrangements with university and standby partners with advanced logistical capabilities and appropriate technology would assist in overcoming these recovery difficulties.



... tulisan selengkapnya dapat Anda download melalui link dibawah ini.

SOCIO-ECOLOGICAL SYSTEM ANALYSIS IN THE RECOVERY OF CATASTHROPIC DISASTER; A Lesson Learned from the

The End of History: Industri Perikanan Nasional?

Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang rata-rata melebihi 100 % sejak tanggal 1 Oktober 2005 telah memberikan dampak luas terhadap industri (usaha kecil, menengah dan besar) perikanan nasional. Kita belum bisa membayangkan apakah hari-hari ke depan industri perikanan nasional kita masih berjalan kalau tidak segera diambil langkah-langkah penyelamatan. Dalam beberapa hari-hari terakhir semua media nasional koran dan televisi serta media lokal memberitakan berhentinya aktivitas melaut bagi nelayan. Suatu kondisi yang sangat mengkhawatirkan bagi perikanan nasional dan mungkinkah kenaikan harga BBM ini merupakan the end of history bagi industri perikanan nasional (perikanan tangkap, budidaya dan pengolahan)? Perlu segera dicari solusi nyata agar industri yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat banyak dan penghasil devisa negara tidak tenggelam dihempas badai krisis kenaikan BBM.

Dampak kenaikan BBM bagi nelayaan saat ini sudah dirasakan hampir merata di seluruh tanah air dalam berbagai kesulitan yakni, pertama, terhentinya aktivitas melaut dari usaha perikanan skala kecil maupun skala besar akibat ketidakmampuan membeli BBM dengan harga yang terjangkau. Daerah-daerah seperti Lamongan, Sendangbiru, Gresik, Tegal, Pekalongan, Benoa, Bitung, Belawan, dan seluruh sentra-sentra perikanan tangkap menghentikan aktivitas usahanya. Perikanan budidaya khussunya pertambakan udang intensif mengalami hal serupa karena tidak mampu menghidupkan mesin genset yang menggerakkan kincir air sehingga, mengganggu penyediaan oksigen yang berdampak pada menurunnya produktivitas bagi komoditas ekspor penting Indonesia tersebut.



... tulisan selengkapnya dapat Anda download melalui link dibawah ini.

THE END OF HISTORY INDUSTRI PERIKANAN NASIONAL.zip

Visi Desa Pesisir 2030

Pesisir memiliki peran penting dalam pembangunan nasional ditinjau geopolitik, geostrategis, ekonomi maupun ketahanan nasional khususnya daerah perbatasan dengan unit terkecil adalah desa pesisir. Menurut DKP (2006) desa pesisir tercatat berjumlah 8,090 desa yang tersebar di seluruh pulau besar maupun kecil. Di dalamnya terdapat sekitar 16 juta jiwa yang tersebar dalam berbagai pekerjaan: 4 juta nelayan, 2,6 juta pembudidaya ikan, dan lainnya sebanyak 9,7 juta. Ironisnya, diantara 16 juta jiwa tersebut, sekitar 5,2 juta tergolong miskin. Pertanyaannya adalah, bagaimana desa pesisir pada tahun 2030? Strategi pembangunan desa pesisir seperti apa yang diperlukan untuk mencapai visi tersebut? Untuk itulah tulisan ini akan berangkat dari analisis terhadap isu-isu kritis desa pesisir, yang kemudian dilanjutkan dengan visi desa pesisir 2030, serta peta jalan menuju 2030 yang berisi strategi transformasi baik pada level makro, meso, maupun mikro.

Isu kritis dalam pembangunan desa pesisir dapat dikelompokan ke dalam lima ranah: ekologi, sosial, ekonomi, agraria, dan geopolitik. Pertama, kerusakan ekologis baik yang bersifat alamiah maupun antropogenik. Kerusakan ekologis secara alamiah di desa pesisir dapat dilihat dari berbagai bencana alam, seperti tsunami, angin topan, dan gempa. Pemanasan global juga memiliki andil terhadap perubahan ekologi desa pesisir karena naiknya paras air laut (sea level rise). Sementara itu, kerusakan ekologis secara antropogenik adalah kerusakan ekologis akibat ulah manusia baik yang bersifat langsung maupun tak langsung. Contoh kerusakan ekologis yang bersifat langsung seperti destructive fishing, pencemaran, serta erosi pantai akibat pembabatan mangrove.



... tulisan selengkapnya dapat Anda download melalui link dibawah ini.

VISI DESA PESISIR 2030.zip