Sebagai sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources), sumberdaya ikan mempunyai batas-batas tertentu sesuai dengan daya dukungnya (carrying capacity). Oleh karena itu, apabila pemanfaatannya dilakukan secara bertentangan dengan kaedah-kaedah pengelolaan, maka akan berakibat terjadinya kepunahan. Dengan demikian, agar kelestarian sumberdaya ikan tetap terjaga maka diperlukan perangkat hukum yang pasti yang disertai dengan penegakan hukum (law enforcement). Dengan kata lain, ketidakpastian hukum dan lemahnya penegakan hukum inilah yang menjadi penyebab rusaknya eksosistem perairan laut.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka pengelolaan perikanan merupakan hal yang utama yang harus dilaksanakan secara terpadu dan terarah. Pengelolaan perikanan (fisheries management) merupakan upaya yang sangat penting dalam mengantisipasi terjadinya kompleksitas permasalahan, baik ekologi maupun sosial-ekonomi di wilayah pesisir dan laut. Upaya ini muncul sebagai akibat dari pemanfaatan kawasan pesisir dan laut yang open access. Praktek open access yang selama ini banyak menimbulkan masalah yaitu kerusakan sumberdaya hayati laut, pencemaran, over-exploitation, dan konflik-konflik antar nelayan. Permasalahan tersebut diperparah oleh Undang-undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan yang bersifat sentralistis dan anti pluralisme hukum, sehingga undang-undang tersebut mengabaikan peran masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan.
Kentalnya nuansa sentralistis dan pemasungan hak masyarakat oleh pemerintah dalam Undang-undang No. 9 Tahun 1985 disebabkan oleh rezim otoriter yang berkuasa pada saat itu. Hal ini sesuai dengan pendapat Mahfud MD yang diperoleh dari penelitiannya yang kemudian dibukukan dalam judul ”Politik Hukum di Indonesia”. Disebutkan bahwa, sebagai variabel bebas (indpendent), konfigurasi politik pada suatu masa akan mempengaruhi karakter produk hukum sebagai varibel terikat (dependent). Meski Mahfud menganalisis Undang-undang Pokok Agraria. Namun, pemikirannya tersebut bisa kita gunakan dalam menganalisa permasalahan yang terjadi dalam Undang-undang Perikanan.Undang-undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan yang dilahirkan di era orde baru yang otoriter, produk hukumnya bersifat elitis, ortodok dan konservatif, sehingga tidak mengakui hak-hak masyarakat lokal sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Dengan kata lain, rezim sentralistis telah memasung kearifan lokal dan menjadikan laut sebagai arena pertarungan bebas (open acces). Akibatnya, terjadi konflik pemanfaatan dan kerusakan sumberdaya. Sedangkan Undang-undang No. 31 Tahun 2004 yang menggantikan Undang-undang No. 9 Tahun 1985 yang dilahirkan dalam suasana demokratis, hasilnya bersifat responsif dan populistik yang dicerminkan dengan adanya pengakuan terhadap hukum adat dan peran serta masyarakat dalam pengelolaan perikanan. Namun demikian, meski dilahirkan di era demokratis bukan berarti Undang-undang No. 31 Tahun 2004 telah sesuai atau telah mampu mengatasi permasalahan perikanan.
... tulisan selengkapnya dapat Anda download melalui link dibawah ini.
No comments:
Post a Comment