Sebagai negara yang dianugerahi sumberdaya alam melimpah, seharusnya kita patut bersyukur. Dengan pemanfaatan secara bijaksana berbagai jenis sumberdaya daya tersebut, mulai dari hutan, migas, ikan hingga pasir laut akan banyak mendatangkan keuntungan bagi masyarakat kita yang nota bene masih banyak yang berada di bawah kemiskinan.
Tetapi mengapa kesejahteraan bangsa ini tidak secepat negeri jiran kita? Mengapa justru sumberdaya kita justru semakin terdegradasi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut senantiasa membuat kita bertanya adakah yang salah dengan pengelolaan sumberdaya alam yang kita miliki selama ini?
Kasus terakhir yang muncul berkatian dengan pertanyaan diatas adalah kontroversi terhadap rencana diijinkannya ekspor pasir laut ke negeri jiran Malaysia dan Singapura.
Sejak dikeluarkannya Inpres Nomor 2/2002 dan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 33 Tahun 2002 tentang pengendalian dan pengawasaan pengusahaan pasir
laut, maka pasir laut pun secara bertahap mulai tertata. Namun mengingat bahwa kelemahan utama kita selama ini dalam penegakan aturan/regulasi, maka pengendalian pengusahaan pasir laut itu tidak berjalan maksimal. Hal ini didukung pula oleh hukum suplai dan permintaan (demand-supply law) yang tidak bias lepas dalam pengusahaan sumberdaya ini.
Belajar pada kasus ekspor pasir laut ke Singapura dimana kebutuhan reklamasi di Singapura hingga tahun 2004 mencapai 800 juta m3 dengan nilai (jika kurs 2001 Rp 5.600/dollar Singapura) sekitar Rp 4,48 trilyun. Kebutuhan tersebut akan terus bertambah pada proyek reklamasi tahun 2005 yang mencapai kebutuhan 265 juta m3 dengan nilai sekitar Rp 1,48 trilyun, dan proyek pada tahun 2010 dengan kebutuhan sekitar 1,01 milyar m3 dengan nilai sekitar Rp 5,656 trilyun. (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2001) Angka-angka tersebut akan memunculkan pertanyaan seberapa pentingkah sumberdaya pasir laut ini bernilai ekonomis?
... tulisan selengkapnya dapat Anda download melalui link dibawah ini.
No comments:
Post a Comment